Jumat, 13 Januari 2017

ASWAJA SEBAGAI MADZHAB QAULY



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Syariat Islam adalah aturan-aturan Allah SWT, yang diciptakan untuk umat Islam yang dimanifestasikan oleh para mujtahid dalam literatur kitab-kitab fiqh, sebagai pedoman menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Namun dalam kenyataannya produk-produk hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tersebut tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang sangat kompleks. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan ijtihad oleh para intelektual/ahli hukum Islam akan semakin mendesak, baik ijtihad secara individual (fardi) seperti pada masa-masa klasik maupun kolektif (jama`i).
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan” kita untuk menggali hukum syariat sendiri secara angsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep madzhab dan kenapa seseorang diwajibkan bermadzhab?
2.      Bagaimana metode ijtihad ASWAJA dalam merumuskan dan memutuskan sebuah hukum agama?
3.      Bagaimana konsep aswaja sebagai madzhab qauly? dan bagaimana penerapan dari madzhab tersebut dalam menjawab sebuah persoalan agama?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Konsep Madzhab
Menurut bahasa Arab, “mazhab” ( مذهب ) berasal dari shighah masdar  mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy “ dzahab (ذهب     ) yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq). Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan:
1.      Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
2.      Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah kaidah  istinbathnya
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup;  (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid dari sumber hukumnya ( al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas ); (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci. Oleh karena itu, membicarakan  madzhab tidak akan lepas dari ijtihad. Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja yaitu madzhab hanafi, madzhab maliki, madzhab syafi’i, dan madzhab hambali. Ada beberapa faktor yang melandasinya; (a). Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam; (b). Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil; (c).  Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan madzhab imamnya; (d). Di antara mereka terdapat hubungan intelektual.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i
B. Sistem Bermadzhab Dalam Aswaja
            Dalam menyelesaikan setiap persoalan hukum, Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu berpedoman pada al-qur’an dan al- hadist sebagai sumber dari segala hukum, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas ( menyamakan sesuatu yang belum jelas hukumnya dengan sesuatu yang telah jelas hukumnya )  sebagai pelengkapnya. Empat prinsip inilah yang dijadikan rujukan oleh ulama ( penganut) Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam setiap merampungkan masalah dan dalam mengambil sebuah keputusan hukum, baik yang berkaitan dengan akidah ( keyakinan ) ubudiyyah ( kegiatan beribadah),mu’amalah ( transaksi), munakahah ( pernikahan) jinayah ( hukum perdata atau pidana ) qodlo’ ( keputusan peradilan ) dan atau segala hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.
            Ahlussunnah Wal Jama’ah memandang perlu adanya ijtihad untuk merampungkan masalah hukum ketika al-qur’an dan al-hadist tidak menjelaskannya. Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli fiqih untuk menghasilkan sebuah hukum yang bersifat dzanni (lebih besar peluang kebenaranya ), tidak bersifat qath’i ( dipastikan kebenaranya). Akan tetapi tidak semua orang boleh dan berhak berijtihad.  Menurut Abdul Manan (2012:127) menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad apabila telah memenuhi beberapa persyaratan berikut.
1.      Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari sumber pokok ( primer ) yakni al-qur’an dan al-hadist dengan beberapa ketentuannya, diantaranya:
ü  memahami ayat al-qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum.
ü  mengetahui asbabun nuzul ( latar belakang) turunnya ayat al-qur’an
ü  mengetahui ayat nasikh ( ayat yang mengganti ) dan mansukh ( ayat yang diganti)
ü  mengetahui ayat yang mujmal dan mubayyan ( ayat yang global dan ayat yang terperinci )
ü  mengetahui ayat yang ‘am  dan yang khos ( yang umum dan khusus )
ü  mengetahui ayat yang muhkam dan ayat yang mutasyabihat ( ayat yang jelas dan yang samar / tidak jelas )
2.      memiliki ilmu yang cukup luas berkaitan dengan hadist Nabi SAW, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum dengan beberapa ketentuan sebagai berikut :
ü  mengetahui asbab wurud al-hadist ( latar belakang turunya hadist )
ü  mengetahui sejarah yang meriwayatkan al-hadist
ü  mengetahui matan ( lafadz) al-hadist yang sempurna
3.      mengetahui beberapa persoalan yang telah disepakati ulama ( ijma’)
4.      memahami qiyas dan dapat menggunakan dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5.      menguasai bahasa arab berikut gramatikanya secara mendalam dengan memenubhi beberapa ketentuan berikut ini:
ü  menguasai ilmu nahwu dan shorf
ü  menguasai ilmu balaghoh dan mantiq
ü  menguasai ilmu ushul fiqh dan qawaid al fiqhiyah
6.      memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum islam yang berpusat pada hal-hal yang bersifat sekunder dan tahsiniyyat ( tersier dan keindahan )
7.      memiliki pemahaman dengan cara-cara yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum
8.      memiliki niat serta akidah yang benar yakni murni karena allah swt dan mencari hukum demi kemaslahatan umat.
Sedangkan tingkatan para ulama ahli ijtihad (mujtahid ) didasarkan atas kemampuan, kecerdasan perorangan dan pertimbangan kurun ( masa). Berikut beberapa tingkatannya:
1.      Mujtahid Mutlaq
Mujtahid mutlaq ( mustaqil )  adalah seseorang yang melakukan ijtihad  dengan cara menciptakan sendiri kaidah-kaidah istimbath ( metode penggalian hukum ).  yang termasuk golongan mujtahid mutlaq diantaranya, imam hanafi, imam maliki, imam syafi’i dan imam hambali
2.      Mujtahid Muntasib
Mujtahid muntasib adalah seseorang yang menggali hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istimbath ( menggali hukum ) imamnya yakni mujtahid mutlaq  yang termasuk golongan ini diantaranya:
a)      Dari Golongan Madzhab Hanafi
Ø  Abu Yusuf Ya’qub Bin Ibrahim Al-anshari ( 113-183 h)
Ø  Zufar bin Al-hudzail bin Qais Al-kufi ( 110-157h)
Ø  Muhamad Al-hasan ( 132 -189 H )
b)      Dari Golongan Madzhab Maliki
Ø  Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-quraisy ( 125-197H)
Ø  Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A’yub bin Al-laits ( 155-224H)
Ø  Ashab bin Abdul Aziz Al-qaisi Al-amiri Al-ja’di ( 140-204H)
c)      Dari Golongan Madzhab Syafi’i
Ø  Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-muzani Al-misri ( 175-264H)
Ø  Yusuf bin Yahya Al-buwaithi Al-mishri ( w. 231 H)
Ø  Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-yamami Al-kalabi Al-baghdadi ( w. 240 H)
d)      Dari Kalangan Madzhab Hambali
Ø  Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-hani’ ( w. 261H/875 M)
Ø  Ahmad bin Muhammad bin Al-hajaj Al-marwazi ( 200-274/275 H)
Ø  Ishaq bin Ibrahim Al marwazi bin Rahwaih ( 161-238 H)
3.      Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah seseorang yang menggali hukum dari beberapa persoalan yang belum sempat dibahas oleh imam mujtahidnya termasuk golongan mujtahid muqayyad diantaranya;
Ø  Imam Al-karkhi (w. Tahun 482H/1089M)
Ø  Imam As-sarakhsi ( w. Tahun 483H/1090M)
Ø  Imam Albazdawi ( w. Tahun 390 H/1004 M)
Ø  Imam Abi Ishaq As-syirazi ( 393 -476 H/1003-1083 M) dan Lainnya.
4.      Mujtahid Madzhab (fatwa)
Mujtahid madzhab ( fatwa ) adalah seseorang yang  berijtihad namun dengan memakai metode istimbath yang dilakukan oleh imamnya serta produk hukum dari imamnya, dia hanya menyeleksi pendapat yang shahih atau yang tidak shahih antara yang kuat dan yang lemah. Termasuk golongan ini adalah Imam Al-ghazali dan Imam Al-juwaini
5.      Mujtahid Murajjih
Mujtahid murajjih adalah seorang yang melakukan penyeleksian dalam madzhab tertentu dengan cara memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau yang paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umat. Ulama yang termasuk golongan mujtahid ini adalah Imam Ar-rafi’i (557-623H /1162-1226 M) dan Imam An-Nawawi ( 631-676 H /1234 -1277 M)
Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali dalil suatu hukum secara langsung dari al-qur’an atau al-hadist diwajibkan bertaqlid kepada salah satu dari ulama mazhahib al arba’ah , yakni imam hanafi imam maliki imam syafi’i dan imam hambali, karena berijtihad  sangat sulit dilakukan oleh setiap orang lantaran syarat-syarat yang harus dipenuhinya sangat banyak. Sayyid abdurrahman bin muhammad bin husain bin umar berkata, “taqlid adalah meyakini ucapan-ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara terperinci pada ucapan tersebut”  menurut pandangan Ahlussunnah wal jama’ah,  taqlid  adalah mengikuti pendapat orang lain(ulama) tanpa mengetahui kesahihan dalil yang digunakan meskipun mengetahui hujjah (alasan) kewajiban untuk bertaqlid.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa taqlid  tidak hanya diwajibkan kepada orang awam saja, akan tetapi orang-orang yang cukup ilmu(alim ) yang mengetahui dalil yang digunakan sebagai sebuah dasar hukum tertentu, dan tidak tahu bagaimana proses dan metode berijtihad dalam menentukan sebuah hukum juga wajib bertaqlid kepada mereka ( mujtahid mutlaq) dan tidak boleh berijtihad  sendiri. Pada dasarnya kewajiban bertaqlid tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan kegiatan beragama. Lebih dari itu bertaqlid juga wajib dilakukan dalam berbagai persoalan hidup sehari-hari. Contohnya, seorang guru geografi ( ilmu bumi ) yang menerangkan kepada peserta didiknya bahwa bumi itu bulat laksana bola, tentunya ia hanya mengikuti sebuah teori dari Galileo Galilei bukan hasil dari penelitiannya sendiri, demikian juga dengan hal yang lain.
Dari beberapa uraian diatas, akan terasa berat bagi masyarakat luas untuk selalu berijtihad  sendiri-sendiri pada setiap persoalan, terutama dalam masalah agama. Terlebih bila melihat syarat dan ketentuan bagi seorang mujtahid (orang yang berhak melakukan ijtihad ). Oleh karenanya, bagi kaum Ahlussunnah wal jama’ah cukup bertaqlid pada salah satu dari empat madzhab ( hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali) dalam bidang fiqih, bertaqlid (mengikuti) kepada imam abu al-qasim al-junaidi dan imam al-ghazali dalam bidang tashawuf.  Bertaqlid (mengikuti) imam abu hasan al-asy’ari dan imam abu manshur al-maturidi dalam bidang akidah ( tauhid).
C.  Metode Perumusan Hukum (Istinbath) Dalam Ahlussunnah Wal Jamaah (Nahdhatul Ulama)
Dalam melakukan pemikiran pembaharuan Hukum Islam baik secara perseorangan maupun kelembagaan mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad dilakukan untuk  memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk menjawab persoalan hukum di dalam masyarakat.  Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU pada tanggal 21-25 Juli 1992 di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil keputusan hukum. Berdasarkan dokumen sepanjang kurun waktu 1926, sampai dengan 1999 dapat disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail89 dalam mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang. Adapun ketiga metode istinbat hukum yang di tetapkan oleh Lajnah Bahtsul Masa`il adalah sebagai berikut:
a)      Madzhab Qauly
 Metode ini adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan ulama`/intelektual NU dalam LBM dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh empat mazdhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazdhab tertentu. Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan bahtsul masa`il (1926), namun hal ini baru secara eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama` di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992). Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan menggunakan ibarat kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu  qaul/wajah, maka yang ada dalam ibarah kitab itulah yang di gunakan sebagai jawaban. Bila dalam menjawab masalah masih mampu dengan menggunakan ibarat kitab, tetapi ternyata ada lebih dari satu qaul/wajah maka dilakukan taqrir jama`iy yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah.
Adapun prosedur pelaksanaan metode qauliy adalah sebagaimana dijelaskan dalam keputusan munas Bandar Lampung bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul/wajah dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan; atau yang lebih kuat. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
1.      Pendapat yang disepakati al-Syaikhain (Imam al-Nawawi dan al-Rafi`i).
2.      Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi.
3.      Pendapat yang di pegang oleh al-Rafi`i saja.
4.      Pendapat yang didukung oleh manyoritas ulama.
5.      Pendapat ulama yang terpandai.
6.      Pendapat ulama yang paling wara



b)      Madzhab Ilhaqiy
Adapun metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu`tabar, maka dilakukan apa yang disebut بنظائرھا  المسائل  الحاق yakni, menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab (yang sudah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Sama dengan metode qauliy, metode ini secara operasional juga telah diterapkan sejak lama oleh para ulama NU dalam menjawab permasalahan keagamaan yang diajukan oleh umat, khususnya  warga nahdliyyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama sebagai metode ilhaqiy. Namun secara eksplisit dan resmi metode ilhaqiy baru terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali, maka dilakukan prosedur بنظائرھا  المسائل  الحاق secara ijmaliy oleh para ahlinya.
Adapun prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsur (persyaratan) berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukum), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukum), wajah ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan hulhaq alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli. Metode ilhaq dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya dapat juga dinamakan qiyasiy versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq, yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur`an dan al-Hadits.
Sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu`tabar). Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak, lantaran adanya kemungkinan ilhaq terjadi terhadap qiyas manakala teks suatu kitab itu ternyata hasil qiyas, memang masih terjadi perdebatan. Akan tetapi ulama NU berketepatan demikian tentunya dengan pertimbangan sejauh mungkin menghindari ilhaq terhadap teks suatu kitab yang merupakan hasil produk qiyas.
c)      Madzhab Manhaji
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa`il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy juga sudah pernah diterapkan oleh ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Contoh penerapan hukum kongres/Muktamar I (1926).35 S (soal): Dapat pahalakah sedekah kepada mayat? J (jawab): Dapat! Keterangan: dalam kitab al-Bukhariy bab “janazah” dan kitab al-Muhadhdhab bab “wasiat” Keputusan di atas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada Hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam madzhab setelah al-Qur`an. Contoh lain penerapan metode manhajiy adalah apa yang diputuskan dalam kongres/muktamar X pada tanggal 13-18 April 1935 di Surakarta: S(soal): Bagaimana hukumnya orang memelihara anak yatim, fakir miskin dan sebagainya, dengan harta benda hasil sepak bola, pasar malam, tonel (pertunjukan/sandiwara) dan sejenisnya? J (jawab):Kongres memutuskan bahwa jika permainan sepak bola, pasar malam, dan buka tonel (pertunjukan/sandiwara) itu hukumnya haram, maka haram juga apa yang dihasilkannya. Mengambil keterangan dari kaidah المصالح   جلب على  مقدم المفاسد دفع (menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan).
Itulah jawaban LBM yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun argumentasi detail. Dengan demikian dapat diyakini, bahwa diharamkannya hal tersebut di atas melalui proses: setelah tidak dapat dirujukkan pada teks suatu kitab mu`tabar, juga tidak dapat di-ilhaqkan kepada hukum suatu masalah, yang mirip, dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu`tabar, maka digunakanlah metode manhajiy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur`an, setelah tidak di temukan lalu pada Hadits, dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fighiyyah :المصالح   جلب على  مقدم المفاسد دفع :(menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbathukum bagi metode munhajiy adalah dengan mempraktekkan qowaid usuliyyah (kaidah-kaidah usul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
D. Aswaja ( Nahdatul Ulama ) Sebagai Madzhab Qauli Dan Contoh Pengaplikasiannya.
            Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa aswaja sebagai madzhab qouli mempunyai arti bahwa dalam merumuskan dan memutuskan sebuah hukum, ahlussunnah wal jamaah (yang dalam hal ini dikhususkan terhadap kelompok nahdlatul ulama) menggunakan metode qauli sebagai jalan ijtihadnya. Dalam  buku Solusi Hukum Islam, Hasil Kepututsan Mu’tamar, munas dan Konbes Nahdhatul Ulama (1926-2004), tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdhatu Ulama, disebutkan “Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qouli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu” Artinya semua permasalahan kekinian dicarikan jawabannya dari al-Kutub al-Mu’tabarah.
            Adapun prosedur penjawaban masalah-masalah disusun dengan urutan sebagai berikut Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan hanya terdapat satu qaul/ wajah saja, maka dipakailah qaul/ wajah  sebagaimana dierangkan dalam ibarat mereka. Namun ketika terdapat dua jawaban maka dilakukan taqrir jama’i,  guna memilih satu pendapat. Sedangkan dalam kasus, tidak didapati  sama sekali qaul, maka dilakukan prosedur ilhaqu al-Masail Bi Nadzairiha, secara jama’i oleh para ahlinya. Sedangkan ketika sebuah kasus tersebut, tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka dilakukan Istinbath Jama’i,  dengan prosedur bermadzhab secara Manhaji oleh para ahlinya
CONTOH DARI PENERAPAN MADHAB QAULI

a.        S (soal): Bolehkah menggunakan hasil zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
 J (jawab):
Tidak boleh. Karena yang di maksud “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah lemah (Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al- Munir juz I).

b.      Soal : Bagaimana Hukumnya Bekerja Ditempat Orang Non-Muslim ?

وعبارته :
ويصح بالكراهة اكتراء الذمي مسلما على عمل يعمله بنفسه لكنه يؤمر بازالة الملك عن منافعه بأن يؤجره لمسلم اه (حاشبة البجيرمي على المنهج الجزء الثالث ص : 169)
Terjemahan :
“Dan sah tetapi makruh orang kafir dzimmi memberikan honor kepada orang islam atas pekerjaan yang dilakukannya, akan tetapi diperintahkan agar tidak ada hak atas kepemilikan untuk mengambil manfaat dari orang muslim tersebut  (budak ) dengan memberikan upah kepadanya.”

BAGAIMANA HUKUM ADZAN IQOMAT BAGI SEORANG PEREMPUAN?
Jawab :
 Ditashfil sebagai berikut :
v  SUNNAH, apabila mengumandangkan iqomat untuk dirinya sendiri ataupun sesama perempuan
v  BOLEH, apabila mengumandangkan adzan secara samar untuk dirinya sendiri ataupun untuk sesamanya dan tidak ada maksud untuk melakukan adzan secara syar’i
v  Haram, apabila melakukan adzan dengan suara yang keras dan terdapat laki-laki lain .
                                   
                                                Referensi : KITAB MINHAJUL QOWIM hal. 35




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Aswaja sebagai madzhab qauliy yakni mempunyai arti, sebuah metode ijtihad yang dalam metode istinbat hukumnya dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Namun dalam praktiknya  Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan teks-teks dari kutub muktabarah dari empat madzhab, maka menggunakan metode apa yang disebut metode ilhaqiy, yakni بنظئرھا  المسائل  الحاق (menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab). Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh LBM dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab, metode ini digunakan oleh intelektual NU bilamana kedua metode di atas tidak dapat dilaksanakan




















DAFTAR PUSTAKA
Tim aswaja NU center PWNU Jawa timur.2016. KHAZANAH ASWAJA (memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan ahlussunnah wal jama’ah .aswaja center Nu jatim.Surabaya
Manan. Abdul. 2009.  Mengenal faham ahlussunah wal jama’ah. Al-falah Press. kediri
Manan. Abdul. 2007.  Fiqih lintas madzhab (hanafi, maliki, syafi’I, hambali) al-falah press. Kediri
Sahil.Idron.2015. “Jurnal penelitian Ijtihad Nu” SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
Nafiul lubab dan novita pancaningrum. 2015. Jurnal  Mazhab: keterkungkungan intelektual atau kerangka metodologis (dinamika hukum islam)”. Yudisia, vol. 6, no. 2, desember 2015