BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syariat Islam adalah aturan-aturan Allah SWT, yang diciptakan untuk
umat Islam yang dimanifestasikan oleh para mujtahid dalam literatur kitab-kitab
fiqh, sebagai pedoman menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di
akhirat. Namun dalam kenyataannya produk-produk hukum yang terdapat dalam
kitab-kitab fiqh tersebut tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer
yang sangat kompleks. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan ijtihad oleh
para intelektual/ahli hukum Islam akan semakin mendesak, baik ijtihad secara
individual (fardi) seperti pada masa-masa klasik maupun kolektif (jama`i).
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya
mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi
dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah
Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah memberikan sumbangsih
pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam.Sebab-sebab terjadinya
perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan
fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut paham untuk
bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan” kita untuk menggali hukum syariat
sendiri secara angsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Bermadzhab
secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman
kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang
sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep madzhab dan kenapa seseorang diwajibkan bermadzhab?
2.
Bagaimana
metode ijtihad ASWAJA dalam merumuskan dan memutuskan sebuah hukum agama?
3.
Bagaimana
konsep aswaja sebagai madzhab qauly? dan bagaimana penerapan dari madzhab
tersebut dalam menjawab sebuah persoalan agama?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Madzhab
Menurut
bahasa Arab, “mazhab” ( مذهب ) berasal
dari shighah masdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil
madhy “ dzahab (ذهب
) yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara
bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq). Sedangkan menurut
istilah ada beberapa rumusan:
1.
Menurut
M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta
berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat
tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh.
2.
Menurut
A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum
suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah kaidah istinbathnya
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini
bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup;
(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid dari
sumber hukumnya ( al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas ); (2) ushul fiqh
yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali
hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci. Oleh karena itu,
membicarakan madzhab tidak akan lepas
dari ijtihad. Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i)
dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan
semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan
yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat
ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak.
Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
hanya empat madzhab saja yaitu madzhab hanafi, madzhab maliki, madzhab syafi’i,
dan madzhab hambali. Ada beberapa faktor yang melandasinya; (a). Kualitas
individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam;
(b). Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil; (c). Mempunyai murid yang secara konsisten menulis
dan mengajarkan madzhab imamnya; (d). Di antara mereka terdapat hubungan intelektual.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum
hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath)
untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab
Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i
B. Sistem Bermadzhab Dalam Aswaja
Dalam menyelesaikan setiap persoalan
hukum, Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu berpedoman pada al-qur’an dan al-
hadist sebagai sumber dari segala hukum, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas (
menyamakan sesuatu yang belum jelas hukumnya dengan sesuatu yang telah jelas
hukumnya ) sebagai pelengkapnya. Empat
prinsip inilah yang dijadikan rujukan oleh ulama ( penganut) Ahlussunnah Wal
Jama’ah dalam setiap merampungkan masalah dan dalam mengambil sebuah
keputusan hukum, baik yang berkaitan dengan akidah ( keyakinan ) ubudiyyah
( kegiatan beribadah),mu’amalah ( transaksi), munakahah (
pernikahan) jinayah ( hukum perdata atau pidana ) qodlo’ (
keputusan peradilan ) dan atau segala hal yang berhubungan dengan kehidupan
sosial kemasyarakatan.
Ahlussunnah Wal Jama’ah
memandang perlu adanya ijtihad untuk merampungkan masalah hukum ketika
al-qur’an dan al-hadist tidak menjelaskannya. Ijtihad adalah usaha yang
sungguh-sungguh dari seorang ahli fiqih untuk menghasilkan sebuah hukum yang
bersifat dzanni (lebih besar peluang kebenaranya ), tidak bersifat qath’i
( dipastikan kebenaranya). Akan tetapi tidak semua orang boleh dan berhak
berijtihad. Menurut Abdul Manan
(2012:127) menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad apabila
telah memenuhi beberapa persyaratan berikut.
1.
Memiliki
kemampuan untuk menggali hukum dari sumber pokok ( primer ) yakni al-qur’an dan
al-hadist dengan beberapa ketentuannya, diantaranya:
ü memahami ayat al-qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum.
ü mengetahui asbabun nuzul ( latar belakang) turunnya ayat al-qur’an
ü mengetahui ayat nasikh ( ayat yang mengganti ) dan mansukh ( ayat
yang diganti)
ü mengetahui ayat yang mujmal dan mubayyan ( ayat yang global dan
ayat yang terperinci )
ü mengetahui ayat yang ‘am dan
yang khos ( yang umum dan khusus )
ü mengetahui ayat yang muhkam dan ayat yang mutasyabihat ( ayat
yang jelas dan yang samar / tidak jelas )
2.
memiliki
ilmu yang cukup luas berkaitan dengan hadist Nabi SAW, terutama yang berkaitan
dengan masalah hukum dengan beberapa ketentuan sebagai berikut :
ü mengetahui asbab wurud al-hadist ( latar belakang turunya hadist )
ü mengetahui sejarah yang meriwayatkan al-hadist
ü mengetahui matan ( lafadz) al-hadist yang sempurna
3.
mengetahui
beberapa persoalan yang telah disepakati ulama ( ijma’)
4.
memahami
qiyas dan dapat menggunakan dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5.
menguasai
bahasa arab berikut gramatikanya secara mendalam dengan memenubhi beberapa
ketentuan berikut ini:
ü menguasai ilmu nahwu dan shorf
ü menguasai ilmu balaghoh dan mantiq
ü menguasai ilmu ushul fiqh dan qawaid al fiqhiyah
6.
memahami
serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum islam yang berpusat pada
hal-hal yang bersifat sekunder dan tahsiniyyat ( tersier dan keindahan )
7.
memiliki
pemahaman dengan cara-cara yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan
hukum
8.
memiliki
niat serta akidah yang benar yakni murni karena allah swt dan mencari hukum
demi kemaslahatan umat.
Sedangkan
tingkatan para ulama ahli ijtihad (mujtahid ) didasarkan atas kemampuan,
kecerdasan perorangan dan pertimbangan kurun ( masa). Berikut beberapa
tingkatannya:
1.
Mujtahid Mutlaq
Mujtahid
mutlaq ( mustaqil ) adalah seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah-kaidah istimbath
( metode penggalian hukum ). yang
termasuk golongan mujtahid mutlaq diantaranya, imam hanafi, imam maliki, imam
syafi’i dan imam hambali
2.
Mujtahid Muntasib
Mujtahid muntasib adalah seseorang yang menggali hukum dengan menggunakan metode dan
kaidah istimbath ( menggali hukum ) imamnya yakni mujtahid mutlaq yang termasuk golongan ini diantaranya:
a)
Dari Golongan Madzhab Hanafi
Ø Abu Yusuf Ya’qub Bin Ibrahim Al-anshari ( 113-183 h)
Ø Zufar bin Al-hudzail bin Qais Al-kufi ( 110-157h)
Ø Muhamad Al-hasan ( 132 -189 H )
b)
Dari Golongan Madzhab Maliki
Ø Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-quraisy ( 125-197H)
Ø Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A’yub bin Al-laits (
155-224H)
Ø Ashab bin Abdul Aziz Al-qaisi Al-amiri Al-ja’di ( 140-204H)
c)
Dari Golongan Madzhab Syafi’i
Ø Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-muzani Al-misri ( 175-264H)
Ø Yusuf bin Yahya Al-buwaithi Al-mishri ( w. 231 H)
Ø Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-yamami Al-kalabi Al-baghdadi ( w.
240 H)
d)
Dari Kalangan Madzhab Hambali
Ø Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-hani’ ( w. 261H/875 M)
Ø Ahmad bin Muhammad bin Al-hajaj Al-marwazi ( 200-274/275 H)
Ø Ishaq bin Ibrahim Al marwazi bin Rahwaih ( 161-238 H)
3.
Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah seseorang yang menggali hukum dari beberapa persoalan yang
belum sempat dibahas oleh imam mujtahidnya termasuk golongan mujtahid muqayyad
diantaranya;
Ø Imam Al-karkhi (w. Tahun 482H/1089M)
Ø Imam As-sarakhsi ( w. Tahun 483H/1090M)
Ø Imam Albazdawi ( w. Tahun 390 H/1004 M)
Ø Imam Abi Ishaq As-syirazi ( 393 -476 H/1003-1083 M) dan Lainnya.
4.
Mujtahid Madzhab (fatwa)
Mujtahid madzhab ( fatwa ) adalah seseorang yang
berijtihad namun dengan memakai metode istimbath yang dilakukan oleh
imamnya serta produk hukum dari imamnya, dia hanya menyeleksi pendapat yang
shahih atau yang tidak shahih antara yang kuat dan yang lemah. Termasuk golongan
ini adalah Imam Al-ghazali dan Imam Al-juwaini
5.
Mujtahid Murajjih
Mujtahid murajjih adalah seorang yang melakukan penyeleksian dalam madzhab tertentu
dengan cara memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau yang paling
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umat. Ulama yang termasuk golongan mujtahid
ini adalah Imam Ar-rafi’i (557-623H /1162-1226 M) dan Imam An-Nawawi ( 631-676
H /1234 -1277 M)
Bagi orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk menggali dalil suatu hukum secara langsung dari al-qur’an atau
al-hadist diwajibkan bertaqlid kepada salah satu dari ulama mazhahib al arba’ah
, yakni imam hanafi imam maliki imam syafi’i dan imam hambali, karena berijtihad
sangat sulit dilakukan oleh setiap
orang lantaran syarat-syarat yang harus dipenuhinya sangat banyak. Sayyid
abdurrahman bin muhammad bin husain bin umar berkata, “taqlid adalah meyakini
ucapan-ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara terperinci pada
ucapan tersebut” menurut pandangan Ahlussunnah
wal jama’ah, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain(ulama)
tanpa mengetahui kesahihan dalil yang digunakan meskipun mengetahui hujjah
(alasan) kewajiban untuk bertaqlid.
Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa taqlid tidak
hanya diwajibkan kepada orang awam saja, akan tetapi orang-orang yang cukup
ilmu(alim ) yang mengetahui dalil yang digunakan sebagai sebuah dasar hukum
tertentu, dan tidak tahu bagaimana proses dan metode berijtihad dalam
menentukan sebuah hukum juga wajib bertaqlid kepada mereka ( mujtahid mutlaq)
dan tidak boleh berijtihad sendiri. Pada dasarnya kewajiban bertaqlid
tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan kegiatan beragama. Lebih dari
itu bertaqlid juga wajib dilakukan dalam berbagai persoalan hidup sehari-hari.
Contohnya, seorang guru geografi ( ilmu bumi ) yang menerangkan kepada peserta
didiknya bahwa bumi itu bulat laksana bola, tentunya ia hanya mengikuti sebuah
teori dari Galileo Galilei bukan hasil dari penelitiannya sendiri,
demikian juga dengan hal yang lain.
Dari beberapa uraian diatas, akan
terasa berat bagi masyarakat luas untuk selalu berijtihad sendiri-sendiri pada setiap persoalan,
terutama dalam masalah agama. Terlebih bila melihat syarat dan ketentuan bagi
seorang mujtahid (orang yang berhak melakukan ijtihad ). Oleh karenanya, bagi
kaum Ahlussunnah wal jama’ah cukup bertaqlid pada salah satu dari empat
madzhab ( hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali) dalam bidang fiqih, bertaqlid
(mengikuti) kepada imam abu al-qasim al-junaidi dan imam al-ghazali dalam
bidang tashawuf. Bertaqlid (mengikuti)
imam abu hasan al-asy’ari dan imam abu manshur al-maturidi dalam bidang akidah
( tauhid).
C. Metode Perumusan Hukum
(Istinbath) Dalam Ahlussunnah Wal Jamaah (Nahdhatul Ulama)
Dalam melakukan pemikiran
pembaharuan Hukum Islam baik secara perseorangan maupun kelembagaan
mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad dilakukan untuk memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk
menjawab persoalan hukum di dalam masyarakat.
Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU pada tanggal 21-25 Juli
1992 di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya
pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad
untuk mengambil keputusan hukum. Berdasarkan dokumen sepanjang kurun waktu
1926, sampai dengan 1999 dapat disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail89 dalam
mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian
hukum yang diterapkan secara berjenjang. Adapun ketiga metode istinbat hukum yang di tetapkan oleh Lajnah Bahtsul
Masa`il adalah sebagai berikut:
a)
Madzhab Qauly
Metode ini
adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan ulama`/intelektual NU
dalam LBM dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya
pada kitab-kitab fiqh empat mazdhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung
pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang
sudah jadi dalam lingkup mazdhab tertentu. Walaupun penerapan metode ini sudah
berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan bahtsul masa`il
(1926), namun hal ini baru secara eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas
Alim Ulama` di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992). Untuk menjawab masalah yang
jawabannya cukup dengan menggunakan ibarat kitab, dan dalam kitab tersebut
hanya ada satu qaul/wajah, maka yang ada
dalam ibarah kitab itulah yang di gunakan sebagai jawaban. Bila dalam menjawab
masalah masih mampu dengan menggunakan ibarat kitab, tetapi ternyata ada lebih
dari satu qaul/wajah maka dilakukan taqrir jama`iy yang berfungsi untuk
memilih satu qaul/wajah.
Adapun prosedur pelaksanaan metode qauliy adalah sebagaimana
dijelaskan dalam keputusan munas Bandar Lampung bahwa pemilihan qaul/wajah
ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul/wajah dilakukan dengan memilih
salah satu pendapat dengan ketentuan mengambil pendapat yang lebih maslahah
dan; atau yang lebih kuat. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan
Muktamar I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
1.
Pendapat yang disepakati
al-Syaikhain (Imam al-Nawawi dan al-Rafi`i).
2.
Pendapat yang dipegang oleh
al-Nawawi.
3.
Pendapat yang di pegang oleh
al-Rafi`i saja.
4.
Pendapat yang didukung oleh
manyoritas ulama.
5.
Pendapat ulama yang terpandai.
6.
Pendapat ulama yang paling wara
b)
Madzhab Ilhaqiy
Adapun metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak
dapat ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu`tabar, maka dilakukan apa
yang disebut بنظائرھا المسائل الحاق yakni, menyamakan
hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan
hukumnya) dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab (yang sudah ada
ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Sama dengan metode qauliy, metode ini secara operasional juga
telah diterapkan sejak lama oleh para ulama NU dalam menjawab permasalahan
keagamaan yang diajukan oleh umat, khususnya
warga nahdliyyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama sebagai metode
ilhaqiy. Namun secara eksplisit dan resmi metode ilhaqiy baru
terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang mengatakan bahwa untuk
menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali, maka dilakukan
prosedur بنظائرھا المسائل الحاق secara ijmaliy oleh para ahlinya.
Adapun prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsur
(persyaratan) berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan
hukum), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukum), wajah
ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan hulhaq alaih)
oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli. Metode ilhaq dalam
prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya dapat
juga dinamakan qiyasiy versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq,
yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya
dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur`an dan
al-Hadits.
Sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum
ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya
berdasarkan teks suatu kitab (mu`tabar). Apakah hal itu diperbolehkan
atau tidak, lantaran adanya kemungkinan ilhaq terjadi terhadap qiyas
manakala teks suatu kitab itu ternyata hasil qiyas, memang masih terjadi
perdebatan. Akan tetapi ulama NU berketepatan demikian tentunya dengan
pertimbangan sejauh mungkin menghindari ilhaq terhadap teks suatu kitab
yang merupakan hasil produk qiyas.
c)
Madzhab Manhaji
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan
yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa`il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya
metode manhajiy juga sudah pernah diterapkan oleh ulama NU terdahulu, walaupun
tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah
keputusan.
Contoh penerapan hukum kongres/Muktamar I (1926).35 S (soal): Dapat pahalakah sedekah kepada mayat? J (jawab): Dapat!
Keterangan: dalam kitab al-Bukhariy bab “janazah” dan kitab al-Muhadhdhab bab “wasiat”
Keputusan di atas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy
karena langsung merujuk pada Hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan
oleh keempat imam madzhab setelah al-Qur`an. Contoh lain penerapan metode manhajiy
adalah apa yang diputuskan dalam kongres/muktamar X pada tanggal 13-18
April 1935 di Surakarta: S(soal): Bagaimana hukumnya orang memelihara anak
yatim, fakir miskin dan sebagainya, dengan harta benda hasil sepak bola, pasar
malam, tonel (pertunjukan/sandiwara) dan sejenisnya? J (jawab):Kongres
memutuskan bahwa jika permainan sepak bola, pasar malam, dan buka tonel
(pertunjukan/sandiwara) itu hukumnya haram, maka haram juga apa yang
dihasilkannya. Mengambil keterangan dari kaidah المصالح
جلب على مقدم المفاسد
دفع (menghindari
kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan).
Itulah jawaban LBM yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab
ataupun argumentasi detail. Dengan demikian dapat diyakini, bahwa diharamkannya
hal tersebut di atas melalui proses: setelah tidak dapat dirujukkan pada teks
suatu kitab mu`tabar, juga tidak dapat di-ilhaqkan kepada hukum
suatu masalah, yang mirip, dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu`tabar,
maka digunakanlah metode manhajiy dengan mendasarkan jawaban mula-mula
pada al-Qur`an, setelah tidak di temukan lalu pada Hadits, dan begitu
seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fighiyyah :المصالح جلب على مقدم المفاسد
دفع
:(menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh
kemaslahatan). Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbathukum
bagi metode munhajiy adalah dengan mempraktekkan qowaid usuliyyah (kaidah-kaidah
usul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
D. Aswaja (
Nahdatul Ulama ) Sebagai Madzhab Qauli Dan Contoh Pengaplikasiannya.
Dari uraian diatas
maka dapat disimpulkan bahwa aswaja sebagai madzhab qouli mempunyai arti bahwa
dalam merumuskan dan memutuskan sebuah hukum, ahlussunnah wal jamaah (yang
dalam hal ini dikhususkan terhadap kelompok nahdlatul ulama) menggunakan metode
qauli sebagai jalan ijtihadnya. Dalam buku Solusi
Hukum Islam, Hasil Kepututsan Mu’tamar, munas dan Konbes Nahdhatul Ulama
(1926-2004), tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahtsul Masail di
Lingkungan Nahdhatu Ulama, disebutkan “Yang dimaksud dengan bermadzhab
secara qouli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup
madzhab tertentu” Artinya semua permasalahan kekinian dicarikan jawabannya
dari al-Kutub al-Mu’tabarah.
Adapun prosedur penjawaban masalah-masalah disusun dengan urutan sebagai
berikut Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan hanya
terdapat satu qaul/ wajah saja, maka dipakailah qaul/ wajah sebagaimana
dierangkan dalam ibarat mereka. Namun ketika terdapat dua jawaban maka dilakukan taqrir jama’i, guna
memilih satu pendapat. Sedangkan dalam kasus, tidak didapati sama sekali
qaul, maka dilakukan prosedur ilhaqu al-Masail Bi Nadzairiha, secara
jama’i oleh para ahlinya. Sedangkan ketika sebuah kasus tersebut, tidak mungkin
dilakukan Ilhaq, maka dilakukan Istinbath Jama’i, dengan
prosedur bermadzhab secara Manhaji oleh para ahlinya
CONTOH DARI PENERAPAN MADHAB QAULI
a.
S (soal):
Bolehkah menggunakan hasil zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena
itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J (jawab):
Tidak boleh.
Karena yang di maksud “sabilillah” ialah mereka yang berperang
dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah
lemah (Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al- Munir
juz I).
b.
Soal : Bagaimana
Hukumnya Bekerja Ditempat Orang Non-Muslim ?
وعبارته :
ويصح بالكراهة اكتراء الذمي مسلما على عمل يعمله بنفسه لكنه يؤمر
بازالة الملك عن منافعه بأن يؤجره لمسلم اه (حاشبة البجيرمي على المنهج الجزء
الثالث ص : 169)
Terjemahan :
“Dan sah tetapi makruh orang kafir dzimmi memberikan
honor kepada orang islam atas pekerjaan yang dilakukannya, akan tetapi
diperintahkan agar tidak ada hak atas kepemilikan untuk mengambil manfaat dari
orang muslim tersebut (budak ) dengan
memberikan upah kepadanya.”
BAGAIMANA HUKUM
ADZAN IQOMAT BAGI SEORANG PEREMPUAN?
Jawab :
Ditashfil sebagai berikut :
v SUNNAH, apabila mengumandangkan iqomat untuk dirinya sendiri
ataupun sesama perempuan
v BOLEH, apabila mengumandangkan adzan secara samar untuk dirinya
sendiri ataupun untuk sesamanya dan tidak ada maksud untuk melakukan adzan
secara syar’i
v Haram, apabila melakukan adzan dengan suara yang keras dan terdapat
laki-laki lain .
Referensi : KITAB MINHAJUL QOWIM hal. 35
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aswaja sebagai madzhab qauliy yakni mempunyai arti, sebuah
metode ijtihad yang dalam metode istinbat hukumnya dengan mempelajari
masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari
empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.
Namun dalam praktiknya Apabila metode qauliy
tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan teks-teks dari kutub muktabarah
dari empat madzhab, maka menggunakan metode apa yang disebut metode ilhaqiy,
yakni بنظئرھا المسائل
الحاق (menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh
kitab dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab). Metode manhajiy adalah
suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh LBM dengan mengikuti
jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab, metode
ini digunakan oleh intelektual NU bilamana kedua metode di atas tidak dapat
dilaksanakan
DAFTAR
PUSTAKA
Tim aswaja
NU center PWNU Jawa timur.2016. KHAZANAH ASWAJA (memahami, mengamalkan, dan
mendakwahkan ahlussunnah wal jama’ah .aswaja center Nu jatim.Surabaya
Manan. Abdul.
2009. Mengenal faham ahlussunah wal
jama’ah. Al-falah Press. kediri
Manan.
Abdul. 2007. Fiqih lintas madzhab
(hanafi, maliki, syafi’I, hambali) al-falah press. Kediri
Sahil.Idron.2015. “Jurnal penelitian Ijtihad Nu” SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
Nafiul lubab
dan novita pancaningrum. 2015. Jurnal “Mazhab:
keterkungkungan intelektual
atau kerangka metodologis (dinamika hukum
islam)”. Yudisia, vol.
6, no. 2, desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar