Sabtu, 26 November 2016

“ PANDANGAN AHLUSSUNAH WAL-JAMA’AH TERHADAP RADIKALISME ”



Radikalisme dewasa ini bukan menjadi istilah yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Istilah ini seolah-olah menjadi momok bagi masyarakat yang menimbulkan rasa khawatir dan ketakutan, dikarenakan gerakan-gerakannya yang bersifat mengancam, menteror, ekstrim dan brutal. Di Indonesia sendiri, tidak kurang teror-teror yang dibuat oleh kaum radikalis ini, diantaranya bom bunuh diri, penyandraan, penembakan, serta pengeboman di tempat-tempat umum dan peribadatan. Hal ini terjadi tidak lain dikarenakan dangkalnya pemahaman golongan tersebut terhadap syariat islam sehingga berakibat pada kesalahan dalam mengaplikasikan pemahaman itu sendiri.
Apabila ditinjau ulang dari sejarah islam, radikalisme itu sudah muncul sejak zaman sahabat Ali bin Abi Thalib, hal itu ditandai dengan adanya golongan Khawarij yang keluar dari barisan atau kubu Ali. Golongan tersebut muncul sebagai bentuk respon atas kekecewaan dari kebijakan sahabat Ali ketika menjadi khalifah, selain itu golongan ini cenderung beraliran ekstrim dan keras dalam menyikapi sebuah permasalahan serta menggunakan dalil “Laa Hukma Illallah  sebagai dasar mereka dalam bertindak. Apabila dikorelasikan dengan fenomena radikalisme sekarang ini, tentu keduanya mempunyai kesamaan orientasi dan ciri khas dalam bertindak. Jika di zaman para sahabat muncul golongan khawarij yang beraliran ekstrim maka sekarang ini golongan tersebut telah berevolusi menjadi organisasi islam garis keras atau yang lebih dikenal dengan sebutan, ISIS, Al-Kaeda, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dsb. Golongan tersebut mewarisi karakter atau nilai-nilai golongan khawarij yang cenderung bersifat ekstrim dan keras.
Adapun bentuk-bentuk radikalisme KH. Tolchah Hasan (2016:75) dalam bukunya “Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme” mengatakan : “Radikalisme itu bisa muncul dalam beberapa bentuk, (1) Radikalisme keagamaan (2) Radikalisme ideologi kedaerahan, (3) Radikalisme kekuatan liberalism”. Dari bentuk-bentuk radikalisme tersebut maka bisa diketahui bahwa kelompok ini muncul dalam berbagai model latar belakang dan kelompok ini mempunyai beberapa alasan yang mendasari aksinya. Diantaranya, kaum radikalis ingin memperjuangkan syariat islam, kaum radikalis ingin mengubah tatanan suatu negara atau ingin mendirikan suatu negara khilafah, kaum radikalis ingin berjihad dengan dalih mereka bisa mati syahid. Kelompok ini biasanya lebih suka menggunakan isu keagamaan sebagai alat mobilisasi gerakan mereka, sebab agama dapat digunakan dengan mudah untuk membakar emosi dan sentimen politik, ekonomi, maupun sosial agama, seperti masalah ketidakadilan, penindasan, rasialis dan lain-lain.
Dalam perspektif faham ahlu sunnah wal jama’ah tentu kelompok yang seperti ini tidak bisa dibenarkan dikarenakan tindaknya yang cenderung meresahkan umat manusia dan menimbulkan kekacauan serta menjadikan suatu negara tidak aman. Apabila kelompok ini hadir ditengah masyarakat mengatas namakan islam atau ingin memperjuangkan agama islam tentu hal itu berlawanan dengan hakikat agama islam itu sendiri yang hadir di dunia ini sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Seharusnya apabila kelompok-kelompok tersebut ingin menegakkan syariat agama islam atau ingin berdakwah dengan semangat islam maka kelompok tersebut harusnya menggunakan langkah yang moderat, damai, dan bersifat persuasif atau merangkul sesama makhluk seperti yang telah dicontohkan oleh para walisongo dalam menyebarkan islam di bumi nusantara ini. Dalam ranah historis munculnya islam yang dibawa oleh para wali terbukti dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup dimasa itu. Kedamaian itu kemudian tereduksi dan menyatu dengan kehidupan masyrakat indonesia sampai saat ini.
Walisongo sebagai penyebar agam islam di Indonesia sekaligus pewaris nilai-nilai ke-aswajaan telah mengajarkan salah satu ciri yang paling mendasar dari golongan ahlussunah wal jama’ah yaitu sikap moderat ( tawassuth) sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut aswaja dari keterprosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrim tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional. Semisal dalam menyikapi suatu budaya atau tradisi warisan para leluhur. Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai faham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional ( wajar) dikarenakan kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Dan budaya itu sendiri adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Dalam menghadpai budaya atau tradisi, ajaran aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqh “ al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” ( mempertahankan kebaikan  warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik ) dari kaidah tersebut sudah jelas bahwasanya aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok islam dalam arti masih mengandung kebaikan maka bisa diterima bahkan bisa diperthankan sebagai yang layak diikuti. Oleh karena itu aswaja memandang sikap yang di ambil oleh kaum radikalis (ekstrim dan keras) ini sangat berlebihan dan kurang  bijak dalam menyikapi suatu peradaban manusia.
Selain itu ahlussunah wal-jama’ah juga memandang kaum radikalis ini cenderung lebih dangkal dalam memahami dan mentafsirkan sebuah teori/kaidah/dasar hukum dari teks-teks keagamaan. Dikarenakan kelompok ini pemahamannya lebih kepada tekstualis atau memahami dari sisi luarnya saja. Senyampang dengan hal itu, Mengutip pendapat dari KH. Tolchah Hasan (2016:111) bahwasanya: “Dalam memahami teks-teks agama tidaklah cukup dengan melakukan interpretasi secara tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual karena dalam interpretasi tekstual pendekatan yang digunakan lebih mengacu pada teks-teks yang difahami dalam dimensi transedental semata, sehingga bisa lepas dari konteks kesejarahan baik dalam konteks kedahuluan, kekinian, maupun keakan-datangan.” Dari pendapat tersebut maka bisa ditarik kesimpulan bahwasanya dalam memahami agama terkhusus dalam mentafsirkan teks-teks keagamaan tidaklah cukup hanya dengan cara tekstualis atau melihat dari sisi luarnya saja akan tetapi diperlukan usaha ekstra untuk melihat lebih dalam makna yang terkandung dari teks tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan meninjau asbabun nuzulnya dan dihubungkan dengan dimensi kehidupan yang lebih luas. Dikarenakan teks-teks agama dimana bahasa tuhan yang termuat dalam kitab suci merupakan makna sacra yang dicoba untuk diterapkan dalam dunia profan manusia.
Semisal dalam konteks memahami makna dari istilah “ Jihad ” pada dasarnya istilah ini mempunyai banyak sekali makna namun sering kali teks ini disalah artikan atau disalah tafsirkan. Adapun makna yang dimaksud adalah seperti kutipan pendapat dari Yusuf Efendi (2010) dalam buku karangan KH. Tolchah Hasan (2016:110) dinyatakan bahwasanya: “jihad bisa diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dijalan Allah atau dalam definisi hukumnya berarti menyerahkan sesuatu yang dimiliki untuk kepentingan agama termasuk harta, ilmu, jiwa,waktu dan lainnya. Makna lain dari jihad adalah mencakup aneka ragam aktifitas; ia terdiri dari 10 bagian, hanya 1 diantaranya dalam bentuk angkat senjata dan 9 bagian yang lainnya termasuk diantaranya dalam bentuk membelanjakan harta allah, bahkan allah mendahulukan orang-orang yang membelanjakan harta dijalanya ketimbang mereka yang mengorbankan nyawanya”. Dari pendapat tersebut maka bisa diketahui bahwa jihad mempunyai arti yang sangat luas.
Jihad apabila dipahami secara sempit (tekstual) maka maknanya adalah angkat senjata atau perang dan apabila dianalogikan, perang itu sendiri berarti kegiatan saling membunuh lawan untuk memperoleh suatu kemenangan dan yang penting untuk diketahui bahwasanya jihad tidak boleh dilakukan di negara yang aman dari peperangan seperti Indonesia dikarenakan akan mengakibatkan korban orang-orang tidak berdosa dan menimbulkan keresahan dimasyarakat. Atau apabila dihubungkan dengan fenomena yang sedang terjadi sekarang yaitu peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang teroris dengan dalih jihad supaya mati syahid itu sendiri tidak benar dikarenakan didalam syariat islam melarang manusia membunuh dirinya sendiri. Hal itu dikutip dari potongan ayat suci al-qur’an (QS. An-Nisa’:29) yang artinya “ janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya allah sangat menyayangi kalian” dan hal itu pun dipertegas dalam hadis shahih muslim yang artinya, “barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lantas ia tewas karenanya maka dineraka jahanam ia akan menjatuhkan diri semacam itu  abadi, diabadikan didalamnya untuk selama-lamanya”.jadi bisa diisimpulkan bahwasanya orang yang bunuh diri kelak tempatnya ada di neraka jahanam dan dalam perspektif islam orang yang meledakkan dirinya (bom bunuh diri) merupakan kegiatan penyimpangan dan bukan termasuk kategori mati syahid.
Adapun makna jihad apabila dipahami secara luas maka bisa diartikan sebagai jihad melawan atau menahan hawa nafsu. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang artinya, “ telah datang kaum kepada Rasulullah SAW lalu baginda SAW bersabda, “kamu semua telah datang dari tempat yang sebaik-baiknya. Kamu telah datang daripada jihad kecil menuju jihad yang lebih besar. Dikatakan, “apa jihad lebih besar itu? Rasulullah SAW menjawab, “ seseorang hamba mujahadah melawan hawa nafsunya”. Dari hadist tersebut maka bisa disimpulkan jihad yang sesungguhnya bagi seorang muslim yaitu jihad melawan hawa nafsunya sendiri. Hal ini dikarenakan apabila hawa nafsu tidak diperangi maka akan cenderung mengajak seorang hamba untuk berbuat nista yang berakibat pada suatu dosa dan hal itu lebih berat dari pada jihad mengangkat senjata.
 Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwasanya ASWAJA secara tegas menolak faham radikalisme  alasanya untuk mengembalikan wajah islam yang penuh rahmat bagi seluruh alam serta tidak membenarkan tindakan kaum radikalis yang cenderung ekstrim dan keras dalam mengamalkan nilai-nilai agama islam dan menilai tindakan tersebut terlalu berlebihan (tidak proporsional). Adapun alasan lain aswaja menolak faham radikalis  dikarenakan sikap-sikap dari kaum radikalis itu bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai yang dimiliki aswaja. .Salah satunya yaitu sikap tawasuth yang mana sikap ini merupakan cara dalam menyikapi suatu peradaban manusia secara proporsional tidak ekstrim ke kanan atau ekstrim ke kiri dengan kata lain aswaja mengambil sikap tengah-tengah “Tegas pada tempatnya lembut pada tempatnya”. Selain itu dalam menterjemahkan suatu teks keagamaan ASWAJA tidak tekstualis melainkan melalui proses yang sangat hati-hati.Hal itu dilakukan dengan proses mengkaji posisi objek kajian, dan melihat fakta sejarah yang dihubungkan dengan kaidah-kaidah hukum yang ada sehingga sikap yang diambil akan pas dan sesuai dengan maksud dari kandungan teks keagamaan tersebut.

1 komentar:

  1. $10 off casino coupon & $50 casino coupon - ridercasino
    You may check your online casino coupon from a casino, and use it on your 1XBET next クイーンカジノ trip. You will be rewarded for your choices 카지노사이트 and cash

    BalasHapus