Radikalisme dewasa ini bukan menjadi istilah yang asing lagi di telinga
masyarakat Indonesia. Istilah ini seolah-olah menjadi momok bagi masyarakat
yang menimbulkan rasa khawatir dan ketakutan, dikarenakan gerakan-gerakannya yang
bersifat mengancam, menteror, ekstrim dan brutal. Di Indonesia sendiri, tidak
kurang teror-teror yang dibuat oleh kaum radikalis ini, diantaranya bom bunuh
diri, penyandraan, penembakan, serta pengeboman di tempat-tempat umum dan peribadatan.
Hal ini terjadi tidak lain dikarenakan dangkalnya pemahaman golongan tersebut
terhadap syariat islam sehingga berakibat pada kesalahan dalam mengaplikasikan
pemahaman itu sendiri.
Apabila ditinjau ulang dari sejarah islam, radikalisme itu sudah
muncul sejak zaman sahabat Ali bin Abi Thalib, hal itu ditandai dengan adanya
golongan Khawarij yang keluar dari barisan atau kubu Ali. Golongan tersebut
muncul sebagai bentuk respon atas kekecewaan dari kebijakan sahabat Ali ketika
menjadi khalifah, selain itu golongan ini cenderung beraliran ekstrim dan keras
dalam menyikapi sebuah permasalahan serta menggunakan dalil “Laa Hukma
Illallah” sebagai dasar mereka dalam
bertindak. Apabila dikorelasikan dengan fenomena radikalisme sekarang ini,
tentu keduanya mempunyai kesamaan orientasi dan ciri khas dalam bertindak. Jika
di zaman para sahabat muncul golongan khawarij yang beraliran ekstrim maka
sekarang ini golongan tersebut telah berevolusi menjadi organisasi islam garis
keras atau yang lebih dikenal dengan sebutan, ISIS, Al-Kaeda, Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dsb. Golongan tersebut mewarisi
karakter atau nilai-nilai golongan khawarij yang cenderung bersifat ekstrim dan
keras.
Adapun bentuk-bentuk radikalisme KH. Tolchah Hasan (2016:75) dalam
bukunya “Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme”
mengatakan : “Radikalisme itu bisa muncul dalam beberapa bentuk, (1) Radikalisme
keagamaan (2) Radikalisme ideologi kedaerahan, (3) Radikalisme kekuatan liberalism”.
Dari bentuk-bentuk radikalisme tersebut maka bisa diketahui bahwa kelompok ini
muncul dalam berbagai model latar belakang dan kelompok ini mempunyai beberapa
alasan yang mendasari aksinya. Diantaranya, kaum radikalis ingin memperjuangkan
syariat islam, kaum radikalis ingin mengubah tatanan suatu negara atau ingin mendirikan
suatu negara khilafah, kaum radikalis ingin berjihad dengan dalih mereka bisa
mati syahid. Kelompok ini biasanya lebih suka menggunakan isu keagamaan sebagai
alat mobilisasi gerakan mereka, sebab agama dapat digunakan dengan mudah untuk
membakar emosi dan sentimen politik, ekonomi, maupun sosial agama, seperti masalah
ketidakadilan, penindasan, rasialis dan lain-lain.
Dalam perspektif faham ahlu sunnah wal jama’ah tentu kelompok yang
seperti ini tidak bisa dibenarkan dikarenakan tindaknya yang cenderung
meresahkan umat manusia dan menimbulkan kekacauan serta menjadikan suatu negara
tidak aman. Apabila kelompok ini hadir ditengah masyarakat mengatas namakan
islam atau ingin memperjuangkan agama islam tentu hal itu berlawanan dengan
hakikat agama islam itu sendiri yang hadir di dunia ini sebagai rahmatan lil
alamin (rahmat bagi seluruh alam). Seharusnya apabila kelompok-kelompok
tersebut ingin menegakkan syariat agama islam atau ingin berdakwah dengan
semangat islam maka kelompok tersebut harusnya menggunakan langkah yang
moderat, damai, dan bersifat persuasif atau merangkul sesama makhluk seperti
yang telah dicontohkan oleh para walisongo dalam menyebarkan islam di bumi
nusantara ini. Dalam ranah historis munculnya islam yang dibawa oleh para wali
terbukti dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup dimasa itu.
Kedamaian itu kemudian tereduksi dan menyatu dengan kehidupan masyrakat
indonesia sampai saat ini.
Walisongo sebagai penyebar agam islam di Indonesia sekaligus
pewaris nilai-nilai ke-aswajaan telah mengajarkan salah satu ciri yang paling
mendasar dari golongan ahlussunah wal jama’ah yaitu sikap moderat ( tawassuth)
sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut aswaja dari keterprosokan
kepada perilaku keagamaan yang ekstrim tapi juga mampu melihat dan menilai
fenomena kehidupan secara proporsional. Semisal dalam menyikapi suatu budaya
atau tradisi warisan para leluhur. Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai faham
keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara
proporsional ( wajar) dikarenakan kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan
budaya. Dan budaya itu sendiri adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan
dan memperbaiki kualitas hidupnya. Dalam menghadpai budaya atau tradisi, ajaran
aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqh “ al-muhafazhah ‘ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” ( mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang
lebih baik ) dari kaidah tersebut sudah jelas bahwasanya aswaja memiliki
pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya
tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan
dengan ajaran pokok islam dalam arti masih mengandung kebaikan maka bisa
diterima bahkan bisa diperthankan sebagai yang layak diikuti. Oleh karena itu
aswaja memandang sikap yang di ambil oleh kaum radikalis (ekstrim dan keras)
ini sangat berlebihan dan kurang bijak
dalam menyikapi suatu peradaban manusia.
Selain itu ahlussunah wal-jama’ah juga memandang kaum radikalis ini
cenderung lebih dangkal dalam memahami dan mentafsirkan sebuah teori/kaidah/dasar
hukum dari teks-teks keagamaan. Dikarenakan kelompok ini pemahamannya lebih
kepada tekstualis atau memahami dari sisi luarnya saja. Senyampang dengan hal
itu, Mengutip pendapat dari KH. Tolchah Hasan (2016:111) bahwasanya: “Dalam
memahami teks-teks agama tidaklah cukup dengan melakukan interpretasi secara
tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual karena dalam
interpretasi tekstual pendekatan yang digunakan lebih mengacu pada teks-teks
yang difahami dalam dimensi transedental semata, sehingga bisa lepas dari
konteks kesejarahan baik dalam konteks kedahuluan, kekinian, maupun
keakan-datangan.” Dari pendapat tersebut maka bisa ditarik kesimpulan
bahwasanya dalam memahami agama terkhusus dalam mentafsirkan teks-teks
keagamaan tidaklah cukup hanya dengan cara tekstualis atau melihat dari sisi
luarnya saja akan tetapi diperlukan usaha ekstra untuk melihat lebih dalam
makna yang terkandung dari teks tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan
meninjau asbabun nuzulnya dan dihubungkan dengan dimensi kehidupan yang lebih
luas. Dikarenakan teks-teks agama dimana bahasa tuhan yang termuat dalam kitab
suci merupakan makna sacra yang dicoba untuk diterapkan dalam dunia profan
manusia.
Semisal dalam konteks memahami makna dari istilah “ Jihad ” pada
dasarnya istilah ini mempunyai banyak sekali makna namun sering kali teks ini
disalah artikan atau disalah tafsirkan. Adapun makna yang dimaksud adalah
seperti kutipan pendapat dari Yusuf Efendi (2010) dalam buku karangan KH.
Tolchah Hasan (2016:110) dinyatakan bahwasanya: “jihad bisa diartikan sebagai
usaha sungguh-sungguh dijalan Allah atau dalam definisi hukumnya berarti
menyerahkan sesuatu yang dimiliki untuk kepentingan agama termasuk harta, ilmu,
jiwa,waktu dan lainnya. Makna lain dari jihad adalah mencakup aneka ragam aktifitas;
ia terdiri dari 10 bagian, hanya 1 diantaranya dalam bentuk angkat senjata dan
9 bagian yang lainnya termasuk diantaranya dalam bentuk membelanjakan harta
allah, bahkan allah mendahulukan orang-orang yang membelanjakan harta dijalanya
ketimbang mereka yang mengorbankan nyawanya”. Dari pendapat tersebut maka bisa
diketahui bahwa jihad mempunyai arti yang sangat luas.
Jihad apabila
dipahami secara sempit (tekstual) maka maknanya adalah angkat senjata
atau perang dan apabila dianalogikan, perang itu sendiri berarti kegiatan
saling membunuh lawan untuk memperoleh suatu kemenangan dan yang penting untuk
diketahui bahwasanya jihad tidak boleh dilakukan di negara yang aman dari peperangan
seperti Indonesia dikarenakan akan mengakibatkan korban orang-orang tidak
berdosa dan menimbulkan keresahan dimasyarakat. Atau apabila dihubungkan dengan
fenomena yang sedang terjadi sekarang yaitu peristiwa bom bunuh diri yang
dilakukan oleh seorang teroris dengan dalih jihad supaya mati syahid itu
sendiri tidak benar dikarenakan didalam syariat islam melarang manusia membunuh dirinya
sendiri. Hal itu dikutip dari potongan ayat suci al-qur’an (QS. An-Nisa’:29)
yang artinya “ janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya
allah sangat menyayangi kalian” dan hal itu pun dipertegas dalam hadis
shahih muslim yang artinya, “barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari
gunung lantas ia tewas karenanya maka dineraka jahanam ia akan menjatuhkan diri
semacam itu abadi, diabadikan didalamnya
untuk selama-lamanya”.jadi bisa diisimpulkan bahwasanya orang yang bunuh
diri kelak tempatnya ada di neraka jahanam dan dalam perspektif islam orang
yang meledakkan dirinya (bom bunuh diri) merupakan kegiatan penyimpangan dan bukan
termasuk kategori mati syahid.
Adapun
makna jihad apabila dipahami secara luas maka bisa diartikan sebagai jihad
melawan atau menahan hawa nafsu. Hal ini seperti yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW dalam hadist yang artinya, “ telah datang kaum kepada Rasulullah
SAW lalu baginda SAW bersabda, “kamu semua telah datang dari tempat yang
sebaik-baiknya. Kamu telah datang daripada jihad kecil menuju jihad yang lebih
besar. Dikatakan, “apa jihad lebih besar itu? Rasulullah SAW menjawab, “
seseorang hamba mujahadah melawan hawa nafsunya”. Dari hadist tersebut maka
bisa disimpulkan jihad yang sesungguhnya bagi seorang muslim yaitu jihad
melawan hawa nafsunya sendiri. Hal ini dikarenakan apabila hawa nafsu tidak
diperangi maka akan cenderung mengajak seorang hamba untuk berbuat nista yang
berakibat pada suatu dosa dan hal itu lebih berat dari pada jihad mengangkat
senjata.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan
bahwasanya ASWAJA secara tegas menolak faham radikalisme alasanya untuk mengembalikan wajah islam yang
penuh rahmat bagi seluruh alam serta tidak membenarkan tindakan kaum radikalis
yang cenderung ekstrim dan keras dalam mengamalkan nilai-nilai agama islam dan
menilai tindakan tersebut terlalu berlebihan (tidak proporsional). Adapun
alasan lain aswaja menolak faham radikalis
dikarenakan sikap-sikap dari kaum radikalis itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip nilai yang dimiliki aswaja. .Salah satunya yaitu sikap tawasuth
yang mana sikap ini merupakan cara dalam menyikapi suatu peradaban manusia
secara proporsional tidak ekstrim ke kanan atau ekstrim ke kiri dengan kata
lain aswaja mengambil sikap tengah-tengah “Tegas pada tempatnya lembut pada
tempatnya”. Selain itu dalam menterjemahkan suatu teks keagamaan ASWAJA
tidak tekstualis melainkan melalui proses yang sangat hati-hati.Hal itu
dilakukan dengan proses mengkaji posisi objek kajian, dan melihat fakta sejarah
yang dihubungkan dengan kaidah-kaidah hukum yang ada sehingga sikap yang
diambil akan pas dan sesuai dengan maksud dari kandungan teks keagamaan
tersebut.
$10 off casino coupon & $50 casino coupon - ridercasino
BalasHapusYou may check your online casino coupon from a casino, and use it on your 1XBET next クイーンカジノ trip. You will be rewarded for your choices 카지노사이트 and cash